infonewjakarta.blogspot.co.id

Kamis, 14 Juli 2016

Kegalauan Feminisme di Hadapan Neoliberalisme

Mungkin bukan kebetulan jika Nancy Fraser, seorang feminis terkemuka, menulis sebuah artikel—yang kemudian menimbulkan debat panjang—berjudul “How feminism became capitalism’s handmaiden – and how to reclaim it” di The Guardian (14 Oktober 2013).[4] Dalam artikel ini dengan tajam Fraser memperlihatkan dilema feminisme gelombang kedua di tengah gelombang kapitalisme kontemporer dan bagaimana cara mengatasinya. Artikel ini merupakan versi super singkat dan populer dari karya baru Fracer, Fortunes of Feminism: From State-Manged Capitalism and Neoliberal Crises, yang memuat butir-butir argumen yang sama[5]. Pandangan Fraser ini hampir senada dengan pendapat sosiolog Manuel Castells dalam The Power of Identity, khususnya bab The End of Patriarchalism, yang menunjukkan problematika yang muncul di sekitar isu perempuan, anak, dan keluarga di dunia pasca-patriarkhi.[6] Kedua penulis ini mengakui keberhasilan feminisme dalam menghancurkan belenggu yang membatasi ruang gerak perempuan di dunia modern yang patriarkhis, tetapi belakangan daya tersebut harus diakui menemui keterbatasannya. Masalah terbesarnya datang dari bentuk kapitalisme yang berubah. Sementara kapitalisme-negara berguguran, gelombang baru kapitalisme yang nanti kita akan sebut sebagai neoliberalisme justru semakin dominan. Di hadapan mode baru kapitalisme ini, feminisme seolah hanya menjadi pelayan (hanmaiden) belaka.
            Kita semua mengerti bahwa feminisme adalah gagasan dan gerakan yang merujuk pada individu dan kelompok yang beragam, merentang dari kiri hingga kanan. Kritik Fraser dan Castells tampaknya diarahkan terutama kepada kaum feminis liberal (lalu neoliberal) yang mengusahakan terciptanya pasar bebas, tetapi saya melihatnya sebagai oto-kritik yang mempunyai relevansi yang sangat luas, termasuk bagi kalangan feminis Marxis. Berangkat dari gagasan kedua penulis tersebut, saya mencoba melihat problematika gender dalam kerangka pembacaan ekonomi politik. Khususnya di Indonesia, dalam hal ini saya menyaksikan semacam kegagapan feminisme dalam mencerna transisi politik dari Orde Baru ke orde setelahnya yang tak lain merupakan refleksi dari perubahan mode kapitalisme. Sementara isu-isu seputar politik identitas berbasis agama dicurigai secara seksama, seperti dampak “perda syariah” terhadap tubuh perempuan, problematika gender yang berasal dari karut marut ekonomi politik sering lolos dari perhatian.  Kondisi ini tentu tidak terjadi begitu saja, tetapi disituasikan oleh apa yang nanti kita bahas sebagai rezim neoliberalisme.
Dari Kapitalisme-Negara ke Neoliberalisme
Terlebih dulu kita akan mengikuti penjelasan Nancy Fraser mengenai dilema feminisme gelombang kedua yang lahir pasca-Perang. Dipengaruhi oleh gagasan new-left yang sedang mekar pada tahun 1960-an, kaum feminis gelombang kedua memposisikan kapitalisme-negara sebagai sasaran tembaknya. Fraser memaksudkan kapitalisme-negara sebagai “the hegemonic social formation in the postwar era, a social formation in which states played an active role in steering their national economies”.[7] Dengan menggunakan pendekatan Keynesian, negara pada periode ini mengelola kapitalisme sedemikian rupa agar terhindar dari krisis. Para teknokrat telah belajar dari pengalaman depresi 1930 dan perencanaan ekonomi selama masa Perang. Beberapa negara bahkan mempraktikkan “dirigisme” dalam bentuk investasi infrastruktur, kebijakan industrial, redistribusi perpajakan, provisi sosial, regulasi bisnis, nasionalisasi beberapa industri strategis, hingga dekomodifikasi barang publik.
            Meski demikian, di mata kaum feminis, negara Keynesian ini mengabaikan aspek keadilan gender. Lebih lanjut Fraser menguraikan empat elemen pokok kapitalisme-negara yang menjadi sasaran kritik feminisme, yaitu ekonomisme, androsentrisme, etatisme, dan Westphalianisme. Perlu diberi penekanan bahwa khususnya di negara-negara poskolonial, keempat elemen tersebut ini sering berhimpun bersama di bawah laras senjata rezim otoriter.[8] Tidak jarang penindasan terhadap kekuatan-kekuatan yang mengancam kapitalisme-negara diselesaikan dengan cara brutal. Dalam situasi yang lebih moderat, negara menggunakan aparatus ideologisnya untuk menghegemoni kesadaran rakyat agar tunduk di bawah kendalinya. Menghadapi situasi represif ini, para feminis dan kalangan aktivis penentang rezim lainnya berdiri di garis terdepan menyuarakan kebebasan. Dengan mempolitisasi konsep “personal” (“personal is political”), para feminis mengekspansi konsep emansipasi hingga ke ruang-ruang keluarga. Bagi kaum feminis, penindasan atas perempuan tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga di ruang privat.
Masalahnya, sejak tahun 1980-an, kapitalisme-negara dan apalagi yang bercorak “dirigisme” berguguran. Model negara kesejahteraan (welfare state) tidak mampu lagi dipertahankan karena biayanya sangat mahal. Sementara isu keterbatasan energi dan kerusakan lingkungan semakin mengemuka, piramida terbalik demografi di negara-negara Barat, ageing society, membuat negara kelimpungan. Di tengah situasi ini, pemerintah dipaksa membuka sektor perekonomian kepada pasar seluas-luasnya. Privatisasi dan deregulasi digulirkan di mana-mana. Tentu saja proses ini dipayungi oleh gagasan demokrasi dan hak asasi manusia yang telah menjadi narasi agung dalam percaturan politik global.

Tidak ada komentar: