Mungkin bukan kebetulan jika Nancy
Fraser, seorang feminis terkemuka, menulis sebuah artikel—yang kemudian
menimbulkan debat panjang—berjudul “How feminism became capitalism’s
handmaiden – and how to reclaim it” di The Guardian (14 Oktober 2013).[4]
Dalam artikel ini dengan tajam Fraser memperlihatkan dilema feminisme
gelombang kedua di tengah gelombang kapitalisme kontemporer dan
bagaimana cara mengatasinya. Artikel ini merupakan versi super singkat
dan populer dari karya baru Fracer, Fortunes of Feminism: From State-Manged Capitalism and Neoliberal Crises, yang memuat butir-butir argumen yang sama[5]. Pandangan Fraser ini hampir senada dengan pendapat sosiolog Manuel Castells dalam The Power of Identity, khususnya bab The End of Patriarchalism, yang menunjukkan problematika yang muncul di sekitar isu perempuan, anak, dan keluarga di dunia pasca-patriarkhi.[6]
Kedua penulis ini mengakui keberhasilan feminisme dalam menghancurkan
belenggu yang membatasi ruang gerak perempuan di dunia modern yang
patriarkhis, tetapi belakangan daya tersebut harus diakui menemui
keterbatasannya. Masalah terbesarnya datang dari bentuk kapitalisme yang
berubah. Sementara kapitalisme-negara berguguran, gelombang baru
kapitalisme yang nanti kita akan sebut sebagai neoliberalisme justru
semakin dominan. Di hadapan mode baru kapitalisme ini, feminisme seolah
hanya menjadi pelayan (hanmaiden) belaka.
Kita semua mengerti bahwa
feminisme adalah gagasan dan gerakan yang merujuk pada individu dan
kelompok yang beragam, merentang dari kiri hingga kanan. Kritik Fraser
dan Castells tampaknya diarahkan terutama kepada kaum feminis liberal
(lalu neoliberal) yang mengusahakan terciptanya pasar bebas, tetapi saya
melihatnya sebagai oto-kritik yang mempunyai relevansi yang sangat
luas, termasuk bagi kalangan feminis Marxis. Berangkat dari gagasan
kedua penulis tersebut, saya mencoba melihat problematika gender dalam
kerangka pembacaan ekonomi politik. Khususnya di Indonesia, dalam hal
ini saya menyaksikan semacam kegagapan feminisme dalam mencerna transisi
politik dari Orde Baru ke orde setelahnya yang tak lain merupakan
refleksi dari perubahan mode kapitalisme. Sementara isu-isu seputar
politik identitas berbasis agama dicurigai secara seksama, seperti
dampak “perda syariah” terhadap tubuh perempuan, problematika gender
yang berasal dari karut marut ekonomi politik sering lolos dari
perhatian. Kondisi ini tentu tidak terjadi begitu saja, tetapi
disituasikan oleh apa yang nanti kita bahas sebagai rezim
neoliberalisme.
Dari Kapitalisme-Negara ke Neoliberalisme
Terlebih dulu kita akan mengikuti
penjelasan Nancy Fraser mengenai dilema feminisme gelombang kedua yang
lahir pasca-Perang. Dipengaruhi oleh gagasan new-left yang sedang
mekar pada tahun 1960-an, kaum feminis gelombang kedua memposisikan
kapitalisme-negara sebagai sasaran tembaknya. Fraser memaksudkan
kapitalisme-negara sebagai “the hegemonic social formation in the
postwar era, a social formation in which states played an active role in
steering their national economies”.[7]
Dengan menggunakan pendekatan Keynesian, negara pada periode ini
mengelola kapitalisme sedemikian rupa agar terhindar dari krisis. Para
teknokrat telah belajar dari pengalaman depresi 1930 dan perencanaan
ekonomi selama masa Perang. Beberapa negara bahkan mempraktikkan “dirigisme”
dalam bentuk investasi infrastruktur, kebijakan industrial,
redistribusi perpajakan, provisi sosial, regulasi bisnis, nasionalisasi
beberapa industri strategis, hingga dekomodifikasi barang publik.
Meski demikian, di mata kaum
feminis, negara Keynesian ini mengabaikan aspek keadilan gender. Lebih
lanjut Fraser menguraikan empat elemen pokok kapitalisme-negara yang
menjadi sasaran kritik feminisme, yaitu ekonomisme, androsentrisme,
etatisme, dan Westphalianisme. Perlu diberi penekanan bahwa khususnya di
negara-negara poskolonial, keempat elemen tersebut ini sering berhimpun
bersama di bawah laras senjata rezim otoriter.[8]
Tidak jarang penindasan terhadap kekuatan-kekuatan yang mengancam
kapitalisme-negara diselesaikan dengan cara brutal. Dalam situasi yang
lebih moderat, negara menggunakan aparatus ideologisnya untuk
menghegemoni kesadaran rakyat agar tunduk di bawah kendalinya.
Menghadapi situasi represif ini, para feminis dan kalangan aktivis
penentang rezim lainnya berdiri di garis terdepan menyuarakan kebebasan.
Dengan mempolitisasi konsep “personal” (“personal is political”),
para feminis mengekspansi konsep emansipasi hingga ke ruang-ruang
keluarga. Bagi kaum feminis, penindasan atas perempuan tidak hanya
terjadi di ruang publik, tetapi juga di ruang privat.
Masalahnya, sejak tahun 1980-an, kapitalisme-negara dan apalagi yang bercorak “dirigisme” berguguran. Model negara kesejahteraan (welfare state)
tidak mampu lagi dipertahankan karena biayanya sangat mahal. Sementara
isu keterbatasan energi dan kerusakan lingkungan semakin mengemuka,
piramida terbalik demografi di negara-negara Barat, ageing society,
membuat negara kelimpungan. Di tengah situasi ini, pemerintah dipaksa
membuka sektor perekonomian kepada pasar seluas-luasnya. Privatisasi dan
deregulasi digulirkan di mana-mana. Tentu saja proses ini dipayungi
oleh gagasan demokrasi dan hak asasi manusia yang telah menjadi narasi
agung dalam percaturan politik global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar